Friday, August 5, 2011

DINOBAT HARIAN KOMPAS SEBAGAI PENULIS


Sekali lagi aku bikin gempar di kampus FK UNAIR (Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga).
Habis spesialis dan dosen tertanya-tanya gerangan siapakah dokter muda dari Malaysia yang artikelnya muncul di harian nasional Kompas.

Kalau tidak salah tahunnya 1977. Artikel yang berjudul "ISA Penyelamat Rakyat Malaysia" terpampang di halaman dalam dengan nama drs. Medicinae Rahmat Haroun FK Unair. Jarang-jarang nama FK Unair terpampang di harian nasional itu yang berpusat di Jakarta. Ianya bukan surat kepada editor, artikel itu dimuatkan di bahagian atas di salah satu hamalan dalam. Malah aku dibayar Rp 13,000.00 melalui giro yang kutuntut di Kantor Pos kampus.

Seronoknya bukan main. Bukan pada nilai yang Harian Kompas bayar tetapi lebih-lebih lagi lontaran kekaguman rakan-rakan atas pengikhtirafan jurnalisme di peringkat nasional mereka.
Bila aku ketemu dosen/spesialis atau profesor, mereka terus menegur, "iki arek Malaysia sing nulis di Kompas?"

Tentang artikel itu mungkin tidak lagi relevan masa kini. Ianya berkaitan dengan ISA (Internal Security Act). Aku benar-benar jadi duta akhbar bagi Malaysia ketika masyarakat pembaca Indonesia mengutuk dalam kecaman yang keras terhadap Kerajaan dan Mahkamah Malaysia atas vonis hukuman gantung sampai mati ke atas seorang remaja yang memilikki pistol secara haram. Aku membela keputusan mahkamah dengan memberi alasan dan situasi di Malaysia termasuk pembunuhan Ketua Polis Perak dan lain-lain bahasan undang-undang yang menunjang legitamasi keputusan mahkamah Malaysia. Editor Kompas menerima argumentasi artikel itu merasanya layak itu dimuat dalam halaman utama dalam memberi wacan journalisme yang seimbang dalam akhbar nasional mereka.

Rasa gembira atas penobatan Kompas buat diriku sebagai penulis tiba-tiba sedikit tersentak. Aku terima sekeping kartu pos yang dialamatkan ke kantor FK Unair. Kandungan katu pos itu mengutuk artikel yang kutulis. Penulis kartu pos tidak bernama menganggap diriku sebagai rasis kerana remaja yang dihukum gantung seorang warga Malaysia keturunan Thionghua. Aku lupa atau tidak ingat sama kartu pos dikirim dari Surabaya atau luar Surabaya. Namun, aku beranggapan kartu itu ditulis dari rakan yang aku kenal. Sampai sekarang kecurigaan itu masih menebal. Apalagi dalam kartu pos itu membayangkan bahaya nyawaku boleh terancam. Meskipun demikian, fikiranku ketika tidak terjejas maupun merasa bimbang kerana mengklasifikasi ancaman itu hanya suatu lelucun atau gurauan.

Ternyata benar, apa pun tidak terjadi, aku tidak diapa-apa sesiapa. Kenalan yang kusyakki mengirim kartu pos tidak sempat kutanyakan kepada apakah dia yang mengirim kartu pos kerana beliau sudah mendiang ketika berkunjung ke Surabaya tahun lalu.

Dr Rahmat Haroun MD
5 Ogos 2011
Subang Jaya.

Thursday, August 4, 2011

DIKROYOK MASSA PAWAI PARTAI POLITIK


( Memoir ini sengaja di tulis dalam slangka tahun 70an agar suasana latar zaman dikekalkan)

Gimana sih mau ceritain kisah gue dikroyok massa pawai partai politik Islam ketika lagi studi di Surabaya?
Ini kisah gelap yang gue alami yang sukar dikikis dari ingatan meskipun kisah berlalu lebih 34 tahun yang lalu. Seolah-olah ianya masih segar di benak ini.

Aku baru saja lulus dan lolos Sarjana Kedokteran (SK) yang mengizinkan title drs med. mendahului namaku. Dengan SK itu membolehkan daku menjalani internship DM 1 atau Doktor Muda 1 di RS Dr Soetomo, Karangmanjangan, Surabaya. Namun pagi malang itu, aku tidak bertugas di hospital karena habis tugas malam menjaga dan merawat pesakit. Kesempatan itu kugunakan untuk melunas bayaran letrik Pusat Pelajar PKPMI cawangan Subaya dimana aku menjawat YDP atau Bendahari PKPMI Cawangan Surabaya sekaligus care-taker MSC itu.

Dari Jalan Pacar Keling aku bersepedamotor dengan Yamaha 150cc ke Kantor Pembayaran Bil Letrik di hadapan THR (Taman Hiburan Rakyat) kalau tidak salah. Usai pembayaran itu aku bergegas pulang ke MSC dalam rutin mempersiapkan diri untuk bertugas sebagai DM dari jam 2 petang hingga ke dini pagi.

Di pintu luar Kantor Bekalan Letrik, aku berhenti sambil memperhatikan pawai (perarakan) sebuah partai politik Islam yang terkemuka di Indonesia. Pawai partai politik kerap diadakan sebagai acara kampanye menjelang PEMILU 1977. Pawai tersebut didahului kenderaan bermotor, diikuti gerombolan penunggang sepeda motor dengan panji dan bendera partai berkibar megah kerana lajunya perarakan mereka.

Setelah pasti pawai itu melepasi, aku menyeberang jalan membeluk ke arah kiri. Sekonyong-konyong muncul dengan tiba-tiba gerombolan hampir 20 orang penunggang sepeda (basikal) dengan kelajuan tinggi terus menabrak sepedamotorku. Aku jatuh kerana aku sempat brek namun beberapa buah basikal turut jatuh menimpaku yang sudah terbaring di tengah jalan.

Dalam masa secebis saat, sejumlah manusia ganas itu terus menyerangku yang masih terbaring di jalan. Bertubi-tubi aku ditumbuk dan diinjak beramai-ramai. Istilah Indonesia ialah dikeroyok. Memang pagi tragis itu aku diganyang habis-habisan. Saat-saat itu sempat aku terbayang jenazahku dihantar pulang ke Malaysia dalam kapan tanpa bendera Jalur Gemilang menutupi keranda. Dalam saat-saat di ambang kematian, aku merayu "tolong pak saya orang MALAYSIA!" (untung kejadian itu terjadi tahun 1977, jika tahun 2000an pasti aku dikroyok sampai mati kerana Mat Top dkk dikaitkan dengan kegiatan terorisme).

Perkataan keramat itu, MALAYSIA, rupa-rupanya punya kuasa magis. Seolah-olah bagaikan dipukau mereka memberhentikan pembantaian massal terhadap tubuhnya yang kerempeng. Perlahan-perlahan mereka mengambil sepeda-sepeda yang saling bertindih akibat tabrakan sesama sendiri mereka. Mereka beredar dengan membawa bendera partai politik mereka yang aku kenal simbolnya (PPP)

Tanpa dibantu para pemerhati-pemerhati di tepi jalan, dengan segala kepayahan aku bangun sendiri. Menghidupkan semula sepeda motorku lalu dengan segala kesakitan aku menuju ke Rumah Sakit tempat aku bertugas sebagai dokter pelatih.
Setelah diperiksa oleh dokter di RS Simpang (bahagian RS Dr Soetomo, kini sudah tiada, didirikan Shopping Complex.) aku diberi cuti sakit selama seminggu. Keesokan harinya matanya biru dan badanku lebam-lebam kerana perdarahan di bawah kulit.

DM Nasaruddin (kini Prof Dr Nasaruddin di Fakulti Perubatan UIAM di Kampus Kuantan, berjawatan tinggi kalau tak silap Timbalan Dekan, HalEhwal Mahasiswa) membuat bantahan melalui HMFK UNAIR dan HMI yang akhirnya diperpanjangkan ke PARTAI Politik Islam terulung ketika itu di Indonesia.

Seperti diduga, Biro Info partai Islam itu menafikan ada pawai rasmi pada hari kejadian. Walaubagaimana pun, Ketua HMI di kampus DM Syaiful, anak Gabenor JATIM Bapak Noer sempat menyatakan kekesalan atas kemalangan tragis yang menimpa. Seingat saya secara pribadi dan surat, namun peristiwa pertemuan dengan Ketua 1 HMFK Unair hilang dari ingatan saya. Mungkin saya tidak puas hati lantas memadam ingat pertemuan itu.

DR RAHMAT HAROUN MD UNAIR
5 Ogos 2011
Subang Jaya/Jaya.